Prodi IAT bekerjasama dengan HMPS IAT mengadakan Kuliah Umum Semester Genap 2024-2025
Yogyakarta, 27 Mei 2025
— Pada hari kedua yang masih dalam agenda seminar nasional bertajuk "From Classical Qur’anic Exegesis To Digital Interpretation “yang digelar di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta membahas diskusi akademik yang berjudul “Beragama di Era Dot Com: Materialitas Al-Qur’an dan Ragam Ekspresi Masyarakat di Ruang Digital”. Seminar ini bertujuan untuk mendiskusikan bagaimana bentuk Al-Qur’an di era modern dan respon masyarakat dalam dunia digital masa kini. Seminar ini dihadiri oleh para akademisi, peneliti, dan pecinta kajian keislaman dari berbagai kalangan khususnya mahasiswa Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir.
Dalam sambutan yang disampaikan oleh Dr.Saifuddin ZuhriQudsy, S.Th.I., M.A.mengatakan bahwa Mahasiswa IAT khususnya harus menguasai medan digital dimana Bapak Zuhri memberi contoh bahwa ada platform keagamaan bernama Qur’an Review yang merupakan akun Instagram populer yang membahas tafsir qur’an yang faktanya bukan dipegang oleh ahlinya. Hal inilah yang menjadi kesadaran mahasiswa IAT untuk terjun dan aktif dalam kajian al-qur’an di dunia digital.
Pemateri yang pertama menghadirkan Subkhani Kusuma Dewi, M.A., Ph.D. Beliau memaparkan kajian mengenai bentuk-bentuk Al-Qur’an di Era Digital dinamika transformasinya dan tantangan yang dihadapi di dalamnya. Dosen sekaligus kaprodi IAT ini menjelaskan salah satu teori penelitian yang bernama teori mediatisasi, dimana teori ini berusaha mengungkap bagaimana media digital mengubah praktik pengalaman keagamaan khusususnya dalam pembacaan Al-Qur’an. Transformasi ini berimplikasi pada tantangan etika dan sakralitas mushaf yang mungkin tereduksi atas adanya perkembangan ini. Hal ini merupakan salah satu penerapan penelitian dalam lingkup digital etnologi.
Dalam sesi kedua yang diisi oleh Abdul Halim, M.Hum., beliau menjelaskan beberapa problem dan perdebatan dalam digitalisasi al-qur’an. Beberapa diantaranya yaitu mengenai otentisitas dan otoritas sebenarnya siapa yang bisa disebut otoritas sebenarnya dalam al-qur’an digital. Mengenai kebolehan menyentuh al-qur’an berbentuk digital juga masih menjadi perdebatan apakah memang ada penghalang yang membolehkan atau sudah tersentuh ketika aplikasi dibuka. Hal-hal ini masih menjadi perdebatan dalam kajian digital humanities.
Sementara itu, moderator dalam acara ini, ibu Imas Lu’ul Jannah, M.A. menambahkan bahwasanya kajian dalam diskursus ini masih kaya karena terbilang interdisipliner. Riset-riset yang bisa dilakukan bisa dari arah transformasi, praktik, atau bagaimana bentuk materialitas al-qur’an itu sendiri.
Seminar ini diakhiri dengan antusiasme peserta seminar dengan beberapa pertanyaan yang terlontar. Diharapkan dengan adanya seminar ini dapat memberi pengetahuan dasar kepada mahasiswa mengenai peluang-peluang riset yang belum banyak terjamah, khususnya dalam diskurus digital humanities dan digital etnology.