Al-Qur’an untuk Semua

Oleh:Julmani

Al-Qur’an adalah Kalamullah: firman atau ucapan Allah. Sebelumnya, ada kitab-kitab lain yang sudah diturunkan untuk umat-umat terdahulu, yakni Zabur, Taurat, dan Injil. Zabur kepada Nabi Dawud; Taurat kepada Nabi Musa; dan Injil kepada Nabi Isa. Semua kitab suci ini adalah kumpulan dari firman Allah SWT yang sifatnya sakral dan tentu saja mengandung kebenaran.

Umat Islam yakin sepenuhnya, Al-Qur’an adalah kitab petunjuk dari Allah, bukan untuk mereka saja, bahkan untuk semua umat manusia (hudan li-n-nas). Itulah mengapa kitab suci yang terakhir ini “merangkum” seluruh ajaran para Nabi terdahulu, baik di bidang akidah, ibadah, muamalah, maupun akhlak. Dalam sebuah hadis, Rasulullah bahkan dengan rendah hati menyatakan bahwa beliau ibarat memasang “batu-bata” yang belum terpasang oleh para Nabi terdahulu. Dengan kata lain, kehadiran beliau adalah penyempurna bagi ajaran para Nabi sebelumnya.

Tentang universalitas Al-Qur’an ini sejatinya bukan klaim asal-asalan dari umat Islam. Sebab Allah sendiri memang menyatakannya demikian. Bukankah Nabi Muhammad SAW adalah Nabi yang membawa pesan universal? Bukankah beliau diutus Allah untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam? Dengan demikian, adalah pantas jika Al-Qur’an menjadi kitab universal dan menjadi pedoman bagi umat manusia di masa sekarang dan mendatang.

Ada banyak alasan mengapa Al-Qur’an layak menjadi kitab universal. Pertama, Al-Qur’an terjamin otentisitasnya. Al-Qur’an bukan karangan Nabi Muhammad SAW dan para sahabat sebagaimana dituduhkan oleh sebagian kalangan orientalis yang belum paham mengenai seluk beluk Al-Qur’an. Siapa pun yang mengkaji dengan baik proses penulisan dan pengumpulan wahyu Al-Qur’an pasti akan paham betapa ketatnya Nabi dan para sahabat menangani firman Allah yang indah dan suci ini.

Kedua, sebagai buah dari otentisitasnya, hingga kini tidak ada seorang pun yang mampu membuat kitab suci semisal Al-Qur’an. Ini menunjukkan bahwa Al-Qur’an memang benar-benar firman Tuhan yang di dalamnya terkandung mukjizat azali. Andai kitab suci ini tulisan Nabi Muhammad SAW sudah pasti bisa ditiru, apalagi sejak dulu hingga sekarang telah banyak lahir jenius-jenius di bidang keagamaan.

Ketiga, yang membuat Al-Qur’an layak jadi kitab universal adalah: kitab ini tidak rasis; tak ada ruang dan celah bagi rasisme dalam Al-Qur’an, kecuali jika ditafsiri secara sempit dan sembrono. Jika Al-Qur’an mengkritik kaum Yahudi atau Nasrani, misalnya, yang dia kritik bukan unsur rasnya, melainkan “kualitas pribadi” manusianya; misalnya karena mereka kufur dan enggan bersyukur atas nikmat-nikmat Allah. Atau, karena mereka itu melakukan kejahatan berupa membunuh para Nabi, menyembah berhala bikinan tangan mereka, dan seterusnya.

Keempat, Al-Qur’an layak menjadi kitab universal karena menempatkan manusia dalam bingkai kemanusiaan yang sederajat di hadapan Tuhan. “Yang paling mulia di sisi Allah adalah yang paling bertakwa kepada-Nya.” Ini salah satu doktrin suci yang menempatkan umat manusia punya peluang yang sama untuk meninggikan derajatnya di hadapan Sang Maha Kuasa. Jadi, manusia dinilai bukan dari sisi fisiknya, hartanya, pangkat jabatannya, tapi dari nilai takwanya. Siapa pun bisa meraih takwa ini jika ia memang menghendaki.

Kelima, Al-Qur’an memuat ajaran yang bersifat dasariah alias fundamental. Kitab ini mengajarkan kepada kita semua bahwa Tuhan kita sama, yakni Allah Yang Maha Kuasa. Kitab ini mengajarkan bahwa semua manusia kelak akan bertanggung jawab sepenuhnya di akhirat. Kitab ini mengajarkan kebaikan dan akhlak yang “disepakati” kebaikannya oleh semua umat manusia, misalnya tentang berbuat baik kepada orang tua dan sesama.

Masih banyak lagi bukti kuat yang mendukung universalisme Al-Qur’an. Umat Islam patut bangga dengan kitab sucinya yang demikian. Namun sikap bangga saja tidak cukup. Yang penting adalah mempelajari, menghayati, dan mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari. Tanpa proses demikian, kitab ini tidak memberi banyak arti bagi kehidupan.

Sayangnya, umat Islam hingga kini masih menjadikan kitab Al-Qur’an sekadar pajangan indah, dibaca setahun sekali ketika Ramadhan tiba, setelah itu tak tersentuh lagi. Banyak juga yang menghapal kitab suci ini, namun internalisasi nilainya belum mewujud nyata dalam praktek hidup sehari-hari. Atau, menjadikannya sekadar objek kajian akademik yang kering dan tak menyentuh relung hati yang terdalam. Wallahu A’lam.

Kolom Terkait

Kolom Terpopuler