Penutupan Pekan Raya IAT 2025: Retracing ‘Ulūm al-Qur’ān through a Historical Lens
Yogyakarta, 17 Oktober 2025
—Pekan Raya 2025 telah mencapai puncaknya. Setelah sukses membuka acara dengan seminar dan dilanjutkan dengan berbagai lomba selama 2 hari berturut-turut, acara ini ditutup dengan acara talkshow. Sebuah talkshow berjudul Retracing ‘Ulūm al-Qur’ān Through a Historical Lens yang bertempat di Convention Hall UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta berusaha mengangkat isu dinamikaulumulqur'andalam kaca mata historis. Seminar ini dihadiri oleh para akademisi, peneliti, dan pecinta kajian keislaman dari berbagai kalangan khususnya mahasiswa Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir.
Sebelum acara pematerian dimulai, moderator dalam acara ini, Muhammad Luthfi Dhulkifli, S.Ag., M.A. melontarkan sebuah pernyataan untuk memantik materi nantinya. “Ulumul Qur'an seringkali dipandang normatif dan dianggap hanya sebagai kajian historis yang tidak bisa dikritisi lagi bahkan mungkin dari beberapa kalangan akademisi mengabaikannya, namun apakah memang begitu?” pungkasnya.
Pemateri pertama menghadirkan Asep Nahrul Musadad, S.Th.I, M.Ag. Ia memaparkan dinamika kajian IAT yang awalnya condong pada kajian timur mulai berubah ketika awal 90-an dengan keterpengaruhan barat seperti pemikir Fazlurrahaman dan kawan-kawannya. Sedangkan, watak kajian PTKIN masa kini disebut sebagai fusionismenurut Megan Abbas, hal ini untuk memperbarui istilah-istilah yang telah usang. Maksud dari istilah tersebut yaitu akademisi yang ada bekerja untuk teologi dengan memanfaatkan pendekatan historis ataupun sebaliknya.
Dalam sesi kedua yang diisi oleh Lien Iffah Naf'atu Fina, M.Hum. Ia menjelaskan bahwa kajian historis-deskriptif tetang ulumul qur'an masih sangat minim, baik di barat maupun di timur. Salah satu ulama yang menulis sejarah ulumul quran yakni Musa'id at-Thoyyar. Terutama dinamika keilmuan pra-Zarkasyi masih sangat minim dikaji yang padahal memiliki banyak sekali dinamika. Ia juga mekankan untuk senantiasa mempertanyakan segala konsepsi yang telah ada, seperti apakah tafsir kontekstual baik sedangkan tafsir klasik tidak? Ataupun sebaliknya. Hal ini menurutnya penting untuk kritis atas wacana yang telah dimunculkan sebelumnya.
Seminar ini diakhiri dengan antusiasme peserta seminar dengan beberapa pertanyaan yang terlontar. Diharapkan dengan adanya seminar ini dapat memberi pengetahuan dasar kepada mahasiswa mengenai peluang-peluang riset yang belum banyak terjamah, khususnya dalam diskurus terjemahan.
-Ezra Najih Wildany